konseling dengan pendekatan kognitif

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Konsep Teoritis
a.     Pengertian Konseling Kognitif
Kognisi adalah pikiran, keyakinan, dan gambaran internal yang dimiliki manusia mengenai peristiwa-peristiwa didalam kehidupannya, (Holden, 1993, 2001). Teori konseling kognitif berfokus pada proses mental dan pengaruhnya pada kesehatan mental dan tingkah laku. Landasan umum dari semua pendekatan kognitif adalah apa yangdipikrkan manusia sangat menentukan bagaimana mereka berperilaku dan merasakan (Beck & Weishat, 2008).
Sebagai pedoman teori kognitif cukup sukses pada klien yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1.      Klien mempunyai intelligensi rata-rata hingga diatas rata-rata.
2.      Klien mempunyai tingkat distress fungsional menengah hingga tinggi.
3.      Klien dapat mengidentifikasikan pikiran dan perasaan.
4.      Klien tidak psikotik atau tidak dilumpuhkan oleh permasalahan saat ini.
5.      Klien mau dan mampu mengerjakan pekerjaan rumah yang sistemik.
6.      Klien memiliki keahlian tingkah laku dan memberi tanggapan yang berulang.
7.      Klien memproses informasi pada tingkat visual dan audio.
8.      Klien sering mengalami tekanan fungsi mental, seperti depresi.
Bernard dan Fullmer mengatakan bahwa konseling kognitif adalah suatu usaha untuk mengubah pandangan seseorang terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan fisik yang ada dimasyarakat. Sebagai akibatnya, seseorang dibantu untuk mencapai identitas secara pribadi dan menentukan langkah-langkah untuk menempuh perasaan berharga, perasaan berarti, dan bertanggung jawab dilingkungan masyarakat.


b.   Tujuan Konseling Kognitif
Tujuan dari konseling kognitif menurut Garth J. Blacham ada dua macam, yaitu: pertama, mendemonstasikan kepada klien bahwa berkata-kata pada diri sendiri adalah akibat adanya gangguan, oleh karena itu setiap klien harus mampu lari dan keluar dari gangguan itu, dan menolak semua ide-ide dan pemikiran yang tidak logis dari manusia.
Selanjutnya tujuan konseling kognitif adalah  mengembangkan kesadaran klien dari seluruh hambatan yang diciptakannya sendiri ddalam mengembangkan komunikasi dengan orang lain dan mengembangkan pola interaksi sosial sesuai dengan situasi dan kondisi serta mampu mengatur sikap hidup dirinya dengan baik dan dapat membina kontak sosial dengan baik.

c.    Pandangan aliran kognitif terhadap manusia
Menurut aliran kognitif sama dengan menggunakan terapi rasional emotif memandang sifat-sifat manusia sebagai berikut:
1.      Manusia dilahirkan dengan suatu potensi untuk berpikir secara lurus dan rasional serta berpikir tidak rasional. Hakikat yang ditentukan disini adalah keupayaan otak manusia untuk memikirkan hal-hal yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sesuai dan yang tidak sesuai, yang indah dan yang jelek.
2.      Manusia mempunyai kecenderungan untuk memelihara dirinya, mencapai kebahagiaan, berpikir dan menyampaikan buah pikirannya, berkomunikasi dengan orang lain serta berkembang menuju kesempurnaan diri.
3.      Manusia juga mempunyai kecenderungan untuk memusnahkan atau mencelakakan dirinya, mengelakkan dari berpikir, mengulang kisealahn, mempercayai hal-hal yang gaib, bersifat tidak saba, menyalahkan diri sendiri dan mengelah untuk berkembang mencapai kesempurnaan diri.




d.   Aspek-Aspek Konseling Kognitif
Dalam Taksonomi Bloom yang direvisi oleh David R. Krathwohl di jurnal Theory into Practice, aspek kognitif dibedakan atas enam jenjang
yang diurutkan sebagai berikut:
1.  Mengingat (Remembering)
Mengingat merupakan proses kognitif paling rendah tingkatannya. Untuk mengkondisikan agar “mengingat” bisa menjadi bagian belajar bermakna, tugas mengingat hendaknya selalu dikaitkan dengan aspek pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai suatu yang lepas dan terisolasi. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif yaitu mengenali (recognizing) dan mengingat. Kata operasional mengetahui yaitu mengutip, menjelaskan, menggambar, menyebutkan, membilang, mengidentifikasi, memasangkan, menandai, menamai.
2. Memahami (Understanding).
Pertanyaan pemahaman menuntut siswa menunjukkan bahwa mereka telah mempunyai pengertian yang memadai untk mengorganisasikan dan menyusun materi-materi yang telah diketahui. Siswa harus memilih fakta-fakta yang cocok untuk menjawab pertanyaan. Jawaban siswa tidak sekedar mengingat kembali informasi, namun harus menunjukkan pengertian terhadap materi yang diketahuinya. Kata operasional memahami yaitu menafsirkan, meringkas, mengklasifikasikan, membandingkan, menjelaskan, membeberkan.
3.   Menerapkan (Applying).
Pertanyaan penerapan mencakup penggunaan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas. Oleh karena itu, mengaplikasikan berkaitan erat dengan pengetahuan prosedural. Namun tidak berarti bahwa kategori ini hanya sesuai untuk pengetahuan prosedural saja. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif yaitu menjalankan dan mengimplementasikan. Kata oprasionalnya melaksanakan, menggunakan, menjalankan, melakukan, mempraktekan, memilih, menyusun, memulai, menyelesaikan, mendeteksi.
4.   Menganalisis (Analyzing).
Pertanyaan analisis menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke unsur- unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut. Kata oprasionalnya yaitu menguraikan, membandingkan, mengorganisir, menyusun ulang, mengubah struktur, mengkerangkakan, menyusun outline, mengintegrasikan, membedakan, menyamakan, membandingkan, mengintegrasikan.
5.  Mengevaluasi (Evaluating).
Mengevaluasi membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada. Ada dua macam proses kognitif yang tercakup dalam kategori ini adalah memeriksa dan mengkritik. Kata operasionalnya yaitu menyusun hipotesi, mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, membenarkan, menyalahkan.
6.  Mencipta (Creating).
Membuat adalah menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong dalam kategori ini yaitu membuat, merencanakan, dan memproduksi. Kata oprasionalnya yaitu merancang, membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan, memperkuat, memperindah, menggubah.

e.    Prinsip-Prinsip Konseling Kognitif
Adapun menurut Sjarkawi, (2006) prinsip – prinsip dalam  konseling kognitif sebagai berikut:
1.      Harus didasarkan pada formulasi yang terus berkembang sehubungan permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseling.
2.      Harus didasarkan pada pemahaman yang sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli.
3.      Memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif dari konseli dan konselor.
4.      Berorientasi pada tujuan dan berfokus pada permasalahan.
5.      Berfokus pada kejadian saat ini.
6.      Merupakan edukasi, bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan menekankan pada pencegahan.
7.      Berlangsung pada waktu yang terbatas.
8.      Terstruktur yaitu, bagian awal-menganalisa perasaan dan emasi konseli; bagian tengah-meninjau pelaksaaan tugas rumah, memabahas permasalahan yang muncul dari setiapsesi dan kemudian merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan; bagian akhir-melakukan umpan bali terhadap perkembangan dari setiap sesi konseling.
9.       Mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka.
10.  Menggunakan berbagai teknik untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku.

B. Teknik-teknik dalam Pendekatan Kognitif
a. Terapi Realitas (RT)
Penemu/pengembang Terapi Realitas
Willliam glasser (dalam Gladding, 2012) mengembangkan terapi realitas pada pertengahan tahun 1960-an. Robert W. meningkatkan pendekatan ini melalui penjelasan dan penelitiannya terhadap pendekatan tersebut. Terapi realitas ini  tidak melibatkn penjelasan komprehensif mengenai perkembangan manusia,seperti sistem Freud. Namun, pendekatan ini menawarkan pada para praktisinyasuatu fokus pandangan mengenaibebrapa aspek penting dari kehidupan manusia dan sifat manusia. Prinsip dasar paling penting dari terapi realitas adalah fokusnya pada kekuatan tidak sadar atau naluri.
Keyakinan kedua mengenai sifat manusia adalah bahwa semua orang mempunyai kekuatan kesehatan/pertumbuhan (Glasser & Wubbolding dalam Gladding, 2012) yang diwujudkan dalam dua tingkatan: fisik dan psikologi. Secara fisik, ada kebutuhan untuk mendapatkan dan menggunakan keperluan guna bertahan hidup seperti makanan, air, dan tempat tinggal. Menurut Glasser, tingkah laku manusia dikendalikan oleh kebutuhan fisik untuk bertahan hidup (contohnya,tingkah laku seperti bernafas, mencerna makanan, dan berkeringat). Dia menasosiasikan tingkah laku ini dengan kebutuhan fisik atau otak lama, karena dikendalikan secara otomatis oleh tubuh. Di zaman modern, tingkah laku yang palin penting diasosiasikan dengan kebutuhan psikologis atau otak baru. Empat kebutuhan psikologis yaitu sebagai berikut:
1.      Keanggotaan: kebutuhan untuk memiliki teman, keluarga, dan cinta
2.      Kekuasaan: kebuthan akan kepercayaan diri, pengakuan, dan kompetisi
3.      Kebebasan: kebutuhan untuk membuat keputusan dan pilihan
4.      Kesenangan: kebutuhan untuk bermain, canda tawa, belajar, dan relaksasi
Pemenuhan kebutuhan psikologi ini berkaitan dengan kebutuhan identitas yaitu, perkembangan psikologis yang sehat. Kebutuhan identitas dipenuhi dengan cara diterima sebagai seseorang oleh orang lain.
Di dalam RT disebutkan bahwa pembelajaran manusia adalah proses seumur hidup yang berdasarkan pada pilihan.  Jika individu tidak belajar sesuatu di awal kehidupan, seperti bagaimana cara berhubungan dengan orang lain, dia dapat memilih untuk mempelajarinya nanti. Pada prosesnya dia dapat mengubah identitas dan caranya berperilaku (Glasser dalam Gladding, 2012).
Konselor bertindak khusunya sebagai guru dan model,meneruma klien dengan hangat dan penuh keterobatan serta menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan terjadinya konseling. Konselor berupaya mebangun hubungan dengan klien dengan mengembangkan kepercayaan melalui keramahan, ketegasan, kejujuran (Wubbolding dalam Gladding, 2012). Konselor menggunakan imbuhan kata kerja –ing, sperti angering atau bullying. Untuk menggambarkan pikiran dan tindakan klien. Ada penekanan pada pilihan, pada apa yang klien pilih untuk dilakukannya. Interaksi klien dengan konselor difokuskan pada tingkah laku yang ingin diubah klien dan cara membuat keinginan tersebut menjadi kenyataan. Pendekatan ini menekankan tindakan konstruktif dan positif (Glasser dalam Gladding, 2012). Metafora dan tema yang diungkapkan oleh klien mendapat perhatian khusus.



Tujuan Terapi Realitas
Tujuan utama dari terapi realitas yaitu sebagai berikut:
1.      membantu klien menjadi rasional dan memiliki mental yang kuat, serta menyadari bahwa dia mempnai pilhan dalam memperlakukan dirinya dan orang lain.
2.      untuk membantu klien mengklarifikasi apa yang diinginkannya dalam kehidupannya. Menyadari cita-cita hidup sangatlah penting agar manusia dapat bertindak secara bertanggung jawab. Dalam menilai cita-cita, ahli terapi realitas membantu klien memriksa asset pribadi selain dukungan lingkungan dan penghambatnya.  Klien yang bertanggung jawab untuk memilih perilaku yang memenuhi kebutuhan pribadi
3.       mebantu klien merumuskan rencana yang realistis untuk mencapai kebutuhandan harapan pribadi.
4.      Membuat konselor terlibat dengan klien dalam hubungan yang penuh makna (Glasser dalam Gladding, 2012). Hubungan ini di dasarkan pada pemahaman, penerimaan, empati dan  kemauan konselor untuk mengekspresikan keyakinannya akan kemampuan klien untuk berubah.
5.      Difokuskan pada perilaku dan masa sekarang. Glasser (dalam Gladding, 2012) percaya bahwa perilaku (misalna, pikiran dan tindakan) berhubungan erat dengan perasaan dan fisiologi. Sehingga perubahan dalam perilaku juga membawa perubahan positif lainnya.
6.      Bertujuan untuk menghapus hukuman dan dalih dari kehidupan klien. ering kali, klien berdalih bahwa dia tidak dapat menjalankan rencana karena takut terkena hukuman jika gagal, baik dari konselor maupun orang-orang di lingkungan luar. Terapi realitas membantu klien memformulasikan suatu rencana baru, jika rencana lama tidak berjalan dengan baik.
Teknik Terapi Realitas
Terapi realitas  menggunakan teknik berorientasi tindakan yang membantu klien menyadari bahwa dia mempunyai pilihan, mengenai cara mereka menanggapi berbagai peristiwa dan orang danbahwa orang lain tidak lagi mengendalikan dirinya sebesar dia mengendalikan mereka (Glasser dalam Gladding, 2012).
Kekuatan dan Konstribusi
Terapi Realitas mempunyai sejumlah kekuatan dan telah memberikan konstribusi pada konseling adalah sebagai berikut:
a.         Pendekatan in fleksibe dan dapat diterapkan pada banyak populasi. Khususnya tepat diterapkan dalam penyimpangan perilaku, penyalahgunaan obat, penyimangan pengendalan impuls, penyimpangan kepribadian, dan tingkah lku antisosial. Erapi ini dapat dalam konseling individual untuk anak-anak , remaja, dewasa, dan lansia dn juga dalam konseling kelompok, perkawinan, dan keluarga.
b.        Pendekatan ini konkret. Baik konselor maupun klien dapat dinilai untuk mengetahui seeberapa besar kemajuan yang telah dibuat dan pada bidang apa saja, khususnya jika dibuat kontrak tujuan tertentu
c.         Pendekatan ini menekankan pada perawatan jangka pendek. Terapi realitas biasanya terbatas hanya beberapa sesi yang berfokus pada tingkah laku masa sekarang
d.        Pendekatan ini mempunyai pusat latihan nasional dan diajarkan secra internasional
e.         Pendekatan ini meningkatkan tanggung jawab dan kebebasan dalam dir individu, tanpa menyalahkan atau mengkritik atau merestruktur seluruh kepribadiannya
f.         Pendekatan ini telah terbukti sukses meantang model perawatan klien secara medis. Penekanannya yang rasional dan positif merupakan alternatif bagi terapi medis, yang membwa angin segar (James & Gilliand, 2003)
g.        Pendekatan ini membahas resolusi konflik
h.        Pendekatan ini menekankan pada masa kini karena tingkah laku masa kini adalah yang paling responsif terhadap pengendalian klien. Seperti penganut teori tingkah laku, Gestalt, dan REBT, terapi realitas tidak tertarik pada masa lalu

Keterbatasan
Terapi realitas mempunyai beberapa keterbatasan yang diantaranya dijelaskan dalam Gladding (2012) adalah sebagai berikut:
a.       Pendekatan ini terlalu menekankan pada tingkah laku masa kini sehingga terkadang mengabaikan konsep lain, seperti alam bawah sadar da riwayat pribadi
b.      Pendekatan ini meyakini bahwa semua bentuk gangguan mental adalah upaya untuk menghadapi peristiwa eksternal
c.       Pendekatan ini hanya mempunyai sedikit teori, meskipun sekarang dikaitkan dengan teori pilihan, yang berarti bahwa pendekatan ini sudah semakin canggih
d.      Pendekatan ini tidak menangaini kompleksitas kehidupan manusia secara penuh dan malah tidah mengindahkan tahap perkembangan
e.       Pendekatan ini rentan menjadi terlau moralistik
f.       Pendekatan ini bergantung pada terciptanya suatu hubungan yang baik antara konselor dan klien
g.      Pendekatan ini bergantung pada interaksi verbal dan komunikasi dua arah. Pendekatan ini mempunyai keterbatasan dalam membantu klien yang degan alasan apa pun, tidak dapat mengekspresiakan kebutuhan, pilihan, dan rencana mereka dengan cukup baik
h.      Pendekatan ini terus mengubah fokusnya

b. Terapi Kognitif (CT)
Penemu/pengembang Terapi Kognitif
Aaron Beck (1921) seorang psikiater, diakui sebagai pemu terapi kognitif (CT). Pekerjaan pertamanya dimulai kira-kira pada masa bersamaan dengan Ellis. Seperti Ellis, pada awalnya dia dilatih untuk menjaji psikoanalitis dan baru merumuskan dan baru merumuskan gagasannya mengenai CT setelah melakukan penelitian tentang keefektifan teori psikoanalisis yang digunakan dalam perawatan depresi, yang menurutnya masih belum cukup baik (Gladding, 2012).

Sudut Pandang tentang Sifat Manusia
Beck mengatakan bahwa persepsi dan pengalaman adalah “proses aktif yang melibatkan data inspektif dan inntrospektif” (Tursi & Cochran dalam Gladding 2012). Lebih jauh lagi, bagaimana seseorang “menjelaskan suatu situasi pada umumny terlihat pada kognisinya (pikiran dan gambaran visual)” . oleh karena itu, tingkah laku yang tidak fungsional disebabkan oleh pikiran yang tidak fungsional. Jika keyakinan tidak diubah, tidak ada kemajuan dalam tingkah laku atau simtom seseorang. Jika keyakinan berubah, simtom dan tingkah laku juga akan berubah.
Peranan Konselor
Konselor CT aktif di dalam sesi konseling. Dia bekerja dengan klien untuk membuat pikiran terselubung menjadi lebih terbuka. Proses ini sangat penting dalam memeriksa kognisi yang sudah bersifat otomatis, seperti misalnya “semua orang menganggap saya membosankan.”
Tujuan
Pusat tujuan CT adalah memeriksa dan mengubah pikiran yang belum teramati dan negatif. Konselor CT khususnya berfokus pada distorsi kognitif yang berlebihan, seperti pola pikir semua atau tidak sama sekali, prediksi negatif, generalisasi berlebihan, melabeli diri sendiri, mengkritik diri sendiri, dan personalisasi (misalnya, mengambil peristiwa yang tidak berhubungan dengan individu tersebut dan membuatnya menjadi berarti; “selalu saja hujjan kalau saya ingin bermain tenis”).
Bersama-sama konselor bekerja dengan klien untuk mengatasi kurangnya motivasi yang sering kali berhubungan dengan kecenderungan, bahwa klien memandang permasalahannya sebagai sesuatu yang terlalu besar untuk dipecahkan.
Teknik
Ada bebrapa teknik yang berhubungan dengan CT:
a.       Menantang cara individu memproses informasi
b.      Memukul balik sistem keyakinan yang salah (misalnya: alasan kemampuan)
c.       Melakukan latihan memonitor diri sendiri yang bertujuan untuk menhentikan pikiran otomatis yang negatif
d.      Memeperbaiki kemampuan komunikasi
e.       Meningkatkan pernyataan diri yang positif dan latihan
f.       Melakukan pekerjaan rumah, termasuk menghilangkan pkiran tak-rasional
Kekuatan dan Konstribusi
Gladding (2012) mengemukakan Terapi kognitif mempunyai sejumlah kekuatan dan telah memberikan konstribusi pada konseling sebagai berikut:
a.         CT telah diadaptasikan pada berbagai macam penyimpangan,, termasuk depresi dan ansetas (Puterbaugh, 2006)
b.        CT telah menelurkan, dalam hubungan dengan terapi tingkah laku-kognitif, terapi tingkah laku dialektikal, suatu perawatan psikososial untuk individu yang beresiko menyakiti diri sendiri seperti,  misalnya orang yang didiagnosis memiliki penyimpangan kepribadian bordeline (BDP-bordeline personality disorder). Tujuannya adalah untuk membantu klien agar dapat lebih peduli dan menerima hal-hal yang tidak dapa diubah dengan mudah, dan menjalani hidup dengan layak (Day, 2008).
c.         CT dapat diterpkan alam berbagai lingkungan budaya. Misalnya, model terapi kognitif Beck diperkenalkan di China pada tahun 1989, dan variannya telah menjadi populer di sana sejak saat itu. (Chang, Tong, Shi, & Zeng, 2005).
d.        CT adalah terapi yang berdasarkan pada bukti, telah diteliti dengan baik, terbukti efektif bagi klien  dari berbagai latar beakang.
e.         CT telah menelurkan sejumlah instrumen klinis yang penting dan berguna termasuk Beck Anxiety Inventory, Beck Hopelessness Scale, dan Beck Depression Scale (Beck & Weishaar dalam Gladding 2012).
f.         CT memiliki sejumlah pusat latihan di Amerika Serikat dan Eropa termasuk Beck Institute di Bala Cynwyd, Pennsylvania (Beck & Weisheer, 2008)


Keterbatasan
Terapi kognitif mempunyai beberapa keterbatasan yang diantaranya dijelaskan dalam Gladding (2012) adalah sebagai berikut:
a.         CT adalah pendekatan yang terstruktur dan menuntut klien untuk aktif, yang  sering kali artinya klien harus enyelesaikan pekerjaan rumah yang diberikan konselor
b.        CT bukanlah terapi yang tepat untuk orang yang mencari pendekatan yang tidak terstruktur, berorientasi pada pencrahan, dan tidak membutuhkan partisipsi penuh dari klien (Selugman, 2006).
c.         CT pada dasarnya bersifat kogntif dan biasanya bukanlah pendekatan yang tepat bagi orang yang kurang cerdas, atau tidak mempunyai motivasi untuk berubah
d.        CT menuntut Konselor dan klien, aktif dan inovatif. Pendekatan ini lebih kompleks daripada yang tampak dari luar.

c. Terapi Rasional-Emosi (TRE)
Konsep-Konsep Utama
Pandangan Tentang Sifat Manusia
TRE adalah psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dab jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. TRE menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Bagaimanapun,menurut TRE  manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat dan kebutuhan dalam hidupnya.
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara simultan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ellis (1974) “Ketiak mereka beremosi, mereka juga berpikir dan bertindak. Ketika mereka bertindak, mereka juga berpikir dan beremosi. Ketika mereka berpikir, mereka juga beremosi dan bertindak”.
TRE dan Toeri Kepribadian
TRE menekankan bahwa menyalahkan adalah inti dari sebagian besar ganguan emosional. Oleh karena itu, jika kita ingin menyembuhkan orang yang neurotik atau psikotik, kita harus menghentikan penyalahan diri dan penyalahan terhadap orang lain yang ada pada orang tersebut. Orang perlu menerima dirinya sendiri dengan segala kekurangannya.
Teknik-teknik dan Prosedur-prosedur utama TRE
TRE memberikan keleluasaan kepada pempraktek untuk menjadi elektrik. Sebagian besar sistem psikoterapi mengandaikan suatu kondisi tunggal yang diperlukan bagi pengubahan kepribadian. Ellis (dalam Corey, 2013) berpendapat bahwa mungkin tidak ada kondisi tunggal atau sekumpulan kondisi yang memadai dan yang esensial bagi terjadinya perubahan. TRE menandaskan bahwa orang-orang bisa mengalami perubahan melalui banyak jalan yang berbeda seperti memiliki pengalaman-pengalaman hidup yang berarti, belajar tentang pengalaman-pengalaman, orang lain, memasuki hubungan dengan terapis, menonton film, mendengar rekaman-rekaman, mempraktekkan pekerjaan rumah yang spesifik, melibatkan diri kedalam korespondensi melalui saluran-saluran TRE, menghabiskan waktu sendirian untuk berpikir dan bermeditasi, dan dengan banyak cara lain untuk menentukan perubahan kepribadian yang tahan lama.
Teknik TRE yang esensial adalah mengajar secara efektif-direktif. Segera setelah terapi dimulai, terapis memainkan  peran sebagai  pengajar yang aktif untuk mereeduksi klien. Terapis menunjukkan penyebab ketidklogisan gangguan-gangguan yang dialami klien dan verbalisasi-verbalisasi diri yang telah mengekalkan gangguan-gangguan dalam hidup klien.
TRE adalah suatu proses didktik dan karenanya menekankan metode-metose kognitif. Ellis (dalam Corey, 2013) menunjukkan bahwa penggunaan metode-metode terapi tingkah laku seperti pelaksanaan pekerjaan rumah, pengomdisian operan, hipnoterapi, dan latihan asertif cenderung digunakan secara efektif-direktif dimana terapis lebih banyak berperan sebagai guru dibandingkan sebagai pasangan berelasi secara intens.
Terapis secara khas aktif dalam pertemuan terapi TRE dan lebih suka berbicara daripada mendengarkan klien secara pasif. Bahkan selama pertemuan-pertemuan pertama terapi, terapis bisa mengonfrontasikan kliennya dengan pembuktian atas pemikiran dan tingkah lakunya yang irasional. Terapis menggunakan penafsiran secara bebas dan tidak terlalu memperhatikan resisitensi-resisitensi klien.
Dalam memelihara semangat didaktik, penggunaan aktivitas “melaksanakan pekerjaan rumah” telah dimasukkan sebagai bagian yang integral dan prektek TRE (Ellis dalam Corey, 2013). Pelaksanaan pekerjaan rumah dimaksudkan untuk membantu klien dalam upayanya mempraktekkan perlawanan atas ketakutan-ketakutan yang irasional. Metodologi pekerjaan rumahnya berlandaskan proses desensitisasi dan sering dijalankan dengan mengikuti suatu hierarki tugas-tugas yang bertingkat yang kesulitannya secara perlahan meningkat.

d.   Teknik Cognitive Restructuring
Cognitive Restructuring adalah sebuah teknik yang lahir dari terapi kognitif dan biasanya dikaitkan dengan karya Albert Ellis, Aaton Beck, dan Don Meichenbaum. Kadang-kadang teknik ini disebut correcting cognitivedistortions (mengoreksi distorsi kognitif). Cognitive restructuring melibatkan penerapan prinsip-prinsip belajar pada pikiran. Teknik ini dirancang untuk membantu mencapai respons emosional yang lebih baik dengan mengubah kebiasaan penilaian habitual sedemikian rupa shingga menjadi tidak terlalu terbias (Dombeck & Wells-Moran dalam Enford 2016). Strategi cognitive restructuring didasarkan pada dua  asumsi; (1) pikiran irasional dan kognisi defektif menghasilkan self-defeatingbehaviors (perilaku disengaja yang memilki efek negatif pada diri sendiri. (2) pikiran dan pernyataan tentang    diri sendiri dapat diubah melalui perubahan pandangan dan kognisi personal (James & Gilliland dalam Enford, 2016). Biasanya, konselor profesional menggunakan cognitive restructuring dengan klien yang membutuhkan bantuan untuk mengganti pikiran dan interpretasi negatif dengan pikiran dan tindakan yang lebih positif.
Cara Mengimplementasikan Teknik Cognitive Restructuring
            Doyle (dalam Enford 2016) mendeskripsikan sebuah prosedur tujuh langkah spesifik untuk diikuti oleh konselor profesional ketika menggunakan cognitive restructuring dengan klien mereka:
1.      Kumpulkan Informasi latar belakang untuk mengungkapkan bagaimana klien menangani masalah di masa lalu maupun saat ini.
2.      Bantu klien dalam menjadi sadar akan proses pikirannya. Diskusikan contoh-contoh kehidupan nyata yang mendukung kesimpulan klien dan diskusikan berbagai interpretasi yang berbeda tentang bukti yang ada.
3.      Periksa proses berpikir rasional klien, yang memfokuskan bagaimana pikiran klien mempengaruhi kesejahteraannya. Konselor profesional dapat membesar-besarkan pemikiran irasional untuk  membuat poinnya lebih terlihat bagi klien.
4.      Memberikan bantuan kepada klien untuk mengevaluasi keyakinan klie tentang pola-pola pikiran logis klien sendiri dan orang lain.
5.      Membantu klien belajar mengubah keyakinan dan asumsi internalnya.
6.      Ulangi proses pikiran rasional sekali lag, kali ini dengan mengajarkan tentang aspek-aspek penting kepada klien dengan menggunakan cntoh-contoh kehidupan nyata. Bantu klien membentuk tujuan-tujuan yang masuk akal yang akan bisa dicapai oleh klien.
7.      “Kombinasikan thought stopping dengan simulasi, PR (pekerjaan rumah) dan relaksi sampai pola-pola logis benar-benar terbentuk.”
Horfman dan Asmund (dalam Enford 2016) mendiskusikan bagaimana cognitive restructuring memungkinkan konselor profesional dan konselor mengenai secara kolaboratif pikiran-pikiran irasional atau maladaptif dan menggunakan strategi-strategi tertentu, seperti logical disputation, socratic questioning, dan eksperimen perilaku, untuk menantang realita mereka. Meichenhaw (dalam Enford 2016) mendeskripsikan tiga tujuan teknik cognitive restructuring yang dapat dipenuhi konselor profesional dan klien sambil menjalani ketujuh lampiran yang dideskripsikan oleh Doyle (1998) di atas:
1.      Klien  perlu menjadi sadar akan pikiran-pikirannya; tujuan ini dapat ditangani selama langkah kedua Doyle (1998). Untuk melaksanakan Meichenbaum (1995) merekomendasikan untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan langsung kepada klien. Konselor profesional juga dapat membantu klien menggunakan imagery recontruction untuk mengakses pikiran-pikiran klien. Proses ini melibatkan klien membayangkan sebuah situasi dalam konseling lambat, sedemikian rupa sehingga klien dapat mendeskripsikan pikiran dan perasaan-perasaan di seputar insiden. Meichenbaum juga merekomendasikan agar klien mencatat pikiran-pikiranyya melalui self-monitoring (memantau diri sendiri). Tiap kali klien menjadi terganggu, klien mendeskripsikan dalam sebuah catatan harian (jurnal) tentang insiden itu beserta pikiran dan perasaan apa pun yang dialaminya.
2.      Klien perlu  mengubah proses pikirannya, konselor profesional dapat membantu klien memenuhi tujuan ini dan belajar mengubah pola-pola berfikirnya. Konselor profesional dapat membantu klien dalam menjadi sadar akan perubahan-perubahan dalam proses pikiran yang perlu dibuat dengan membantuklien untuk mengevaluasi pikiran dan keyakinannya, memunculkan prediksi, mengeksplorasi alternatif, dan mempertanyakan logika yang keliru. Meichenbaum, 1995 ketika mengevaluasi pikiran dan keyakinan klien, konseor profesional membantu klien menyadari pikiran-pikiran mana yang di pikir dan yang akan terjadi.
3.      Klien perlu bereksperimen untuk mengeksplorasi dan mengubah ide tentang dirinya dan dunia, konselor profesional dapat mulai dengan memerintahkan klien untuk melakukan eksperimen-eksperimen pribadi dalam ranah terapeutik dan kemudia beralih ke situasi kehidupan nyata ketika klien sudah siap. Suatu Scheme diary juga dapat membantu dalam mengubah kayakinan-keyakinan seorang klien.

Variasi-variasi Teknik Cognitive Restructuring
Salah satu variasi teknik ini mengharuskan klien untuk menyadari akan dan membuat catatan harian tantang pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan sebelum,selama, dan setelah mengalami sebuah insiden yang penuh tekanan.konselor profesional membaca catatan harian klien dan menganalisinya, dengan memberikan perhatian khusus pada pikiran-pikiran self-defeating dan kasus-kasus yang tampaknya menyebabkan klien stres. Setelah detail-detail ini diidentifikasi, konselor profesional membantu klien mengganti pikiran self-defeating dengan pikiran-pikiran coping.
Doyle (dalam Enford 2016) mendeskripsikan sebuah variasi lain yang digunakan klien untuk menganalisis dirinya. Klien dapat menggunakan suatu metode tiga-kolom untuk belajar lebih banyak tentang pikirannya sendiri. Klien mencatat situasi-situasi yang menyebabkan kecemasan di koloms pertama. Pikiran klien tentang berbagai situasi di kolom kedua. Di kolom terakhir, klien mencatat ketidakakuratan yang terlihat dalam proses pikirannya.
Hackney dan Cornier (dalam Enford 2016) mendeskripsikan cara menggunakan pikiran-pikiran coping dalam cognitive restructuring, konselor profesional perlu bekerja sama bersama dengan klien untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran negatifnya, pernyataan-pernyataan coping perlu dibentuk. Pernyataan coping adalah pikiran positif yang merupakan respon rasional  terhadap pernyataan self-defeating. Sebagai contoh, klien dapat berpikir “saya takut dengan pesawat ini” (pernyataan self-defecting), klien dapat berfikir, “pesawat ini baru  saja diperiksa oleh seorang spesialis di bidang keselamatan penerbangan.
            Southam-Gerow dan Kendall (dalam Enford 2016) mengusulkan suatu variasi lain cognitive restructuring yang mereka gunakan dengan anak-anak. Ketika seorang konselor profesional dan seorang klien berada dalam langkah-langkah, berusaha mengidentifikasi self-talk klien, konselor profesional dapat memerintahkan anak itu untuk membayangkan pikiran sebagai gelembung-gelembung pikiran.

C. Aplikasi-Aplikasi Pendekatan Kognitif
            Mappiare (dalam Hartati 2012) berpendapat bahwa pendekatan kognitif adalah suatu rancangan konseling atau pendekatan yang berfokus pada berpikir dan proses mental dalam modifikasi atau mengubah tingkah laku dan sering melibatkan penelitian, pengembangan keterampilan, kontrol pikiran, serta proses-proses dan teknik-teknik yang berorientasi kognitif lainnya.
Tujuan dari konseling kognitif adalah mengubah pikiraan yang belum teramati dan negatif. Konseling kognitif berfokus pada distorsi kognitif yang berlebihan seperti pola pikir, prediksi negatif, generalisasi berlebihan, melabeli diri sendiri, mengkritik diri sendiri sendiri dan personalisasi (Gladding dalam Krisnaya, dkk 2014). Wilhelm, dkk (dalam Hartati 2012) mengemukakan bahwa pendekatan kognitif dipakai untuk penderita obsesif kompulsif.
Beck (dalam Krisnaya, dkk 2014) mendifinisikan Konseling Kognitif sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini, dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dengan perilaku yang menyimpang. Pikiran yang negatif dan perasaan yang tidak nyaman dapat membawa seseorang pada permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti gangguan kecemasan bahkan gangguan depresi.
Teknik restrukturisasi kognitif (cognitive restructuring) adalah teknik dalam konseling kognitif dimana konseli dilatih untuk memiliki persepsi baru dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapi (Krisnaya, dkk, 2014). Cormier & Nurius (dalam Krisnaya, dkk 2014) menyatakan bahwa restrukturisasi kognitif berakar pada penghapusan distorsi kognitif atau kesimpulan yang salah, pikiran, keyakinan irasional, dan mengembangkan kognisi baru dengan pola respon yang lebih baik atau sehat.
Person dkk (dalam Krisnaya dkk, 2014) mengatakan bahwa teknik restrukturisasi kognitif merupakan salah satu dari teknik konseling kognitif yang efektif untuk konseli pada level pendidikan, pekerjaan, dan latar belakang yang berbeda.
Konseling rasional emotif adalah suatu pemberian bantuan oleh konselor terhadap konseli dengan menekankan pada proses berpikir untuk mengembalikan ide-ide/pikiran-pikiran irasional ke ide-ide/pikiran-pikiran rasional sehingga tercapainnya suatu perubahan yingkah laku guna memecahkan masalahnya sendiri, membuat keputusan sendiri, dan bertanggung jawab atas keputusan sendiri (Natih, dkk, 2014).


BAB III
KESIMPULAN

A.   Kesimpulan
Kognisi adalah pikiran, keyakinan, dan gambaran internal yang dimiliki manusia mengenai peristiwa-peristiwa didalam kehidupannya, (Holden, 1993, 2001). Teori konseling kognitif berfokus pada proses mental dan pengaruhnya pada kesehatan mental dan tingkah laku. Landasan umum dari semua pendekatan kognitif adalah apa yangdipikrkan manusia sangat menentukan bagaimana mereka berperilaku dan merasakan (Beck & Weishat, 2008).
Tujuan dari konseling kognitif menurut Garth J. Blacham ada dua macam, yaitu: pertama, mendemonstasikan kepada klien bahwa berkata-kata pada diri sendiri adalah akibat adanya gangguan, oleh karena itu setiap klien harus mampu lari dan keluar dari gangguan itu, dan menolak semua ide-ide dan pemikiran yang tidak logis dari manusia.
Teknik-teknik dalam Pendekatan Kognitif
1.      Terapi Realitas (RT)
2.      Terapi Kognitif (CT)
3.      Terapi Rasional-Emosi
4.      Teknik Cognitive Restructuring
Aplikasi-Aplikasi Pendekatan Kognitif
Mappiare (dalam Hartati 2012) berpendapat bahwa pendekatan kognitif adalah suatu rancangan konseling atau pendekatan yang berfokus pada berpikir dan proses mental dalam modifikasi atau mengubah tingkah laku dan sering melibatkan penelitian, pengembangan keterampilan, kontrol pikiran, serta proses-proses dan teknik-teknik yang berorientasi kognitif lainnya.
B.  Saran
Untuk penyusunan makalah yang selanjutnya diharapkan mampu menyusun makalah dengan kualitas yang lebih baik lagi, sehingga manfaat dari makalah bagi orang-orang yang membaca dan membutuhkan informasi dapat dirasakan dan berguna secara langsung.
Kemudian dalam penyusunan makalah yang selanjutnya diharapkan dapat memperkaya literature sebagai bahan kajian, sehingga data yang dihimpun lebih lengkap dan bervariasi dari berbagai sumber yang ada.




























DAFTAR PUSTAKA

Enford, Bradley T. (2016). 40 Teknik yang Harus Diketahui Setiap Konselor. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gladding, Samuel T, Konseling (Profesi Yang Menyeluruh), edisi ke enam,
Jakarta: Indeks,2012

Hartono dan Boy Sudarmadji . (2012). Psikologi Konseling. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Hastuti, Sri. (2012). Pendekatan Kognitif untuk Menurunkan Kecenderungan Perilaku Deliquensi pada Remaja. Skripsi dipublikasikan, Fakultas Ushuludin, Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol, Padang. http://journal.uad.ac.id. Diakses pada tanggal 14 mei 2017 pukul 13.45.

Krisnaya. Dkk. (2014). Penerapan Konseling Kognitif dengan Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Meningkatkan Resiliensi Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 3 Singaraja. e-journal Undiska, Vol. 2 (1). http://download.portalgaruda.org.id. Diakses pada tanggal 16 Mei 2017 pukul 21.45
Natih, Ni Komang SYW. Dkk. (2014). Penerapan Konseling Rasional Emotif dengan Teknik Role Playing  untuk meningkatkan Keterbukaan Diri (Self-Disclosure) Siswa Kelas X MIA 3 SMA Negeri 2 Singaraja. e-journal Undiksa, Vol. 2 (1). http://ejournal.undiksa.ac.id. Diakses pada tanggal 05 Mei 2017 pukul 15.50.


Yasmar, Renti. (2009). Binbingan dan Konseling Terhadap Siswi Bermasalah Di Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi tidak dipublikasikan, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. http://digilib.uin-suka.ac.id/2967/1/BAB%20I,IV.pdf. Diakses pada tanggal 15 mei 2017 pukul 20.00.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GANGGUAN PSIKOLOGIS (NORMAL VERSUS ABNORMAL)